Pesta Adatnya Masyarakat Wehea

Lom Plai

Ritual Lom Plai menjadi unik karena pesta itu menyimpan kearifan lokal yang syarat makna. Salah satunya adalah memperlakukan tumbuhan, khususnya tanaman padi sejajar dengan manusia. Lom Plai merupakan salah satu kebudayaan Suku Dayak Wehea, yang digelar oleh masyarakat yang mendiami daerah-daerah di wilayah sungai Wehea kecamatan Muara Wahau.

Menurut Ledjie Taq, Kepala Adat Desa Nehas Liah Bing (Slabing) Kecamatan Muara Wahau, Lom Plai mengandung arti mengantisipasi agar tidak sakit atau selalu sehat, selamat dan panjang umur Lom Plai juga bisa berarti usaha penyembuhan terhadap orang sakit. Dalam bahasa Kutai, Lom Plai sama artinya dengan Erau (pesta). Pesta rakyat ini digelar setiap selesai masa panen dan digelar setiap tahun. Penyelenggaraan Lom Plai setelah masa panen, berhubungan erat dengan makna Lom Plai itu sendiri, yakni pesta terhadap tanaman padi. Menurut Ledjie Taq dalam bukunya.

Tarian Hedoq (Hudoq) merupakan salah satu ritual yang cukup menarik perhatian saat acara Lom Plai suku Dayak Wehea. Tarian ini dipercaya sebagai tarian jin yang dapat membantu manusia. Hudoq dipercaya sebagai jin yang berasal dari bawah air, dari atas tanah dan dari khayangan. Para penari mengenakan pakaian dari daun pisang yang dililitkan ke badan, sementara kepala mereka mengenakan topeng yang menyerupai kepala berbagai jenis binatang.

Tarian ini dimainkan oleh pria dan wanita dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit tertentu, serta mendatangkan semangat (roh) padi. Tujuannya adalah agar pada musim tanam berikutnya padi tambah subur dengan bulir yang lebat dan berisi dan makanan berupa ketupat serta pisang merupakan sedekah bagi para dewa agar bermurah hati menganugerahkan (melimpahkan) rezeki dan padi yang baik pada tahun yang akan datang.

Embob jengea merupakan puncak dari acara Lom Plai. Dalam acara ini, ada 14 ritual yang digelar. Di antara 14 ritual itu, yang paling populer dan mengandung perhatian orang luar (wisatawan) adalah Seksiang dan Tarian Hedoq (Hudoq).

 

Seksiang merupakan tiruan perang-perangan pada zaman dahulu di atas air atau sungai, dengan menggunakan tombak weheang. Permainan ini dilakukan sambil menunggu Embus Min selesai. Para pemain memakai beberapa perahu mudik menuju ke hulu sungai. Sambil hanyut mengikuti air sungai, mereka berlempar-lemparan menggunakan weheang.

Di akhir acara adalah hari berpesta dan menjamu tamu. Setiap rumah warga akan menyediakan berbagai macam makanan untuk menjamu siapapun yang datang secara cuma-cuma. Yang tak kalah menarik dan tak bisa dilupakan pengunjung adalah acara saling mencoreng wajah dengan arang dan siram-siraman dengan air sebagai simbol saling membersihkan dan tidak boleh marah. Itulah salah satu keunikan dan tradisi yang dimiliki masyarakat dayak Wehea.